METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM

METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM
Metode HISAB-RUKYAT Menurut Hukum Islam - Penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhizzah adalah merupakan masalah penting karena berkaitan dengan ibadah kepada Allah Swt, yaitu ibadah puasa dan sholat hari raya (idul Fitri dan Idul Adha), di mana penetapannya didasarkan pada al-Qur’ãn dan al-Hadits. Acuan dalam penentuan awal bulan Qomariyah adalah bulan karena perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.Perhitungan tahun Hijriyah ini berbeda dengan perhitungan Masehi yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Satu kali peredaran bulan mengelilingi matahari rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik, sehingga dalam dua belas bulan rata-rata 354 hari 8 jam 48 menit 30 detik.

Dalam peredaran bulan mengelilingi bumi, ada masa di mana bulan berada pada arah yang sama dengan matahari yang disebut dengan fase bulan baru (ijtima’), yang dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan penerapannya ditentukan dengan rukyat yaitu melihat bulan berbentuk sabit pada saat bulan baru muncul. Umumnya bulan yang berbentuk sabitlah yang dirukyah dengan cahaya sangat redup. Apabila pengamatan dilakukan pada sekitar saat matahari terbenam, rukyah akansangat mungkin terganggu oleh cahaya remang petang.

Adanya kemungkinan posisi hilãl yang tidak dapat dirukyat memunculkan pilihan kedua yaitu menerima istikmal (mencukupkan Sya’ban menjadi 30 hari).Hilãl yang tidak mungkin dirukyat karena tertutup awan atau posisinya tidak berada pada imkān ar- ru’yah, maka metode yang ditempuh ialah dengan hisab.Oleh karenanya dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah memunculkan metode rukyah dan hisab sebagai metode penetapan awal bulan Qomariyah.

Selanjutnya dari metode yang berbeda juga melahirkan perbedaan dalam penetapan awal Bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.Bahkan dalam perkembangan selanjutnya perbedaan juga terjadi secara internal antara masing-masing metode.

1. Metode Rukyat
Pada masa Rasulullah Saw dan beberapa generasi sesudah beliau, penetapan awal bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan selalu didasarkan pada metode rukyat (ru’yatul hilãl), yaitu dengan melihat bulan sabit dengan mata telanjang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku dengar Rasulullah Saw bersabda : “Apabila kamu melihat dia (tanggal 1 Ramadhan), maka hendaklah kamu berpuasa; dan apabila kamu melihat dia, maka hendaklah kamu berbuka, tetapi manakala dimendungkan (hilãl) itu atas kamu, maka hendaklah kamu tetapkan untuknya”.

Hadits lain yang juga popular adalah :“summû li ru’yatihi wa aftharû li ru’yatihi”(berpuasalah kamu karena melihat hilãl dan berbukalahkamu karena melihatnya). Menurut al-Kahlani, sebagaimana dikutipSumma, hadits ini jelas-jelas menunjukkan atas kewajiban puasa Ramadhankarena melihat hilãl (bulan sabit) Ramadhan dan berbuka puasa juga karena melihat hilãl.

Ru’yatul hilãl ini adalah merupakan maksud lain dari kata syuhudussyahri (meyakinkan bulan) sebagaimana pendapat para ulama sepertiMusthafa al-Maraghi, Wahbah az-Zuhaili dan Sayyid Sabiq. Menurut mereka ru’yatul hilãl dapat langsung dengan mata telanjang, atau dengan bantuan alat peneropong.

Untuk memahami hadits-hadits yang terdapat kata ru’yah tidak hanya dengan melihat makna teks tersebut secara literal, tetapi juga dengan melihat setting sosial ketika hadits itu muncul (asbãb al-wurûd). Secara tekstual, arti ru’yah menurut Ibnu Sayyidah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur dalam Lisãn al-Arabi adalah :”melihat dengan mata atau hati” (an-nazharu bil ‘ain wa al-qalb). Di samping itu juga ada yang berpendapat bahwa rukyat tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi dapat juga berarti melihat dengan ilmu (rasio) melalui hasil perhitungan ilmu hisab.

Dalam konteks historitas, pada kasus hadits rukyat terlihat adanya upaya Rasulullah Saw untuk memahami bahasa masyarakat Madinah.Seperti dalam hadits : “idza raitum al-hilãl” adalah didahului munculnya pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah Saw berkaitan dengan perselisihan antara dua kelompok dalam menentukan bulan, di mana kelompok pertama mengangap bulan Sya’ban dan kelompok yang lain mengangap bulan Ramadhan. Respons yang di berikan Rasulullah Saw adalah :“idza raitum al-hilãl”.

Persoalan yang muncul pada hadits di atas bukan terletak pada rukyat tetapi lebih mengarah pada proses penentuan awal bulan Qamariyah. Dalam setting masyarakat Madinah di mana hadits-hadits tentang rukyatmuncul di Madinah, dan rukyat dalam pengertian melihat dengan matatelanjang cocok dengan masyarakat Madinah. Tetapi dalam settingmasyarakat Mekkah, maka rukyat dengan pengertian melihat dengan mata telanjang tidak cocok dengan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mengenal ilmu pengetahuan antara lain dalam bidang astronomi.

Dengan menggunakan teori al-ibratu bi umumi al-lafzhi la bi hususi as-sababi dan al-ibratu bi hususi as-sababi la bi umumi al-lafdzi, makadidapatkan dua macam pengertian rukyat.Dengan menggunakan teoripertama, rukyat tidak hanya dipahami dalam konteks masyarakat Madinahtetapi juga dalam konteks masyarakat Mekkah, sehingga rukyat tidaksemata-mata melihat dengan mata telanjang. Sedangkan dengan teori keduamenjadikan makna rukyat menurut setting masyarakat Madinah an sich,sehingga rukyat berarti melihat dengan mata telanjang.

Ru’yatul hilãl adalah metode praktis untuk membuktikan apakahbulan sabit baru (hilãl) terlihat atau tidak. Jika dalam astronomi objek langityang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat, maka ru’yatul hilãl dilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah, dan dilakukan setiap tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum.

Kriteria imkān ar- ru’yah setiap negara-negara Islam berbeda-beda. Khusus di Indonesia, kriteria yang digunakan dan disepakati adalah kriteriayang berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang melahirkan tigakesepakatan, yaitu :
(1) tinggi bulan minimum 2 derajat;
(2) jarak bulanmatahari minimum 3 derajat; dan
(3) umur bulan saat maghrib minimum 8 jam.

Di samping aspek perbedaan kriteria imkãnur ru’yat yang bisa menyebabkan perbedaan, maka aspek lain yang menjadi sumber perbedaan adalah kesaksian, keberlakuan hasil rukyat dalam wilayah geografis (mathla’).

2. Metode Hisab
Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan awal bulan dan awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan
Dzulhijjah.

Ada dua metode hisab yang lazim digunakan, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi berasal dari penyimpulan rata-rata lamanya umur bulan Qamariyah.Metode ini menentukan umur bulan-bulan ganjil 30 hari dan umur-umur bulan genap 29 hari. Sedangkan hisab hakiki, menentukanbahwa bulan baru dipastikan masuk bila pada waktu maghribhilãl diperhitungkan berada di atas ufuk.

Penggunaan hilãl sebagai patokan untuk setiap datangnya awal bulan, didasarkan pada Q.S. al-Baqaroh (2);189, yang berbunyi :

يسئلونك عن الأهلة , قل هي مواقيت للناس و الحج
Artinya :“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji………

Syekh Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsirnya al-manãr, sebagaimana dikutip Syah, menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas sebagai berikut:
Assakir dari jalan As-Sudiy ash Shoghier dari al-Kalby dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas bahwa sahabat Muadz binn Jabal dan Tsa’labah bin Ghoniemah bertanya : “Wahai Rasulullah ada apa dengan hilãl itu, ia muncul (pertama kali) tipis sekali seperti garis lalu membesar hingga besar, separuhnya dan bundar kemudian tidak berhenti (sampai di situ) ia menyusut dan menepis hingga kembali kepada bentuk semula, (mengapa) tidak dalam satu bentuk saja?”.

Lalu turunlah ayat ini. (Syekh Muhammad Rasyid Ridho) menerangkan):”Sungguh telah masyhur sebab turunnya ayat ini karena Ulama Balaghoh menempatkannya dalam permasalahan ada dan tidak adanya kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban. Mereka berpendapat bahwa yang diinginkan oleh penanya adalah penjelasan sebab-sebab perubahan bentuk yang biasa terjadi (pada hilãl), namun jawaban hadir tiada lain menerangkan hikmahnya bukanlah menjelaskan illatnya (peristiwa astronomis pen.), karena hal inilah yang menjadi objek agama. Cocok sekali apa yang disebut dalam ilmu Balaghoh dengan uslubul hakiem atau uslubul al-hakiem.

Secara astronomis hilãl (crescent) adalah penampakan bulan paling kecil yang menghadap ke bumi. Keadaan tersebut dapat dicapai beberapa saat di sekitar ijtima’ karena pada saat itu sudut pandang matahari dan bulan paling kecil. T Jamaluddin mendefinisikan hilãl sebagai berikut :

Hilal adalah bulan Tsabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresangaris garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskopdengan pemrosesan citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis ditepi bulatan yang mengarah ke matahari.

Dari beberapa pengertian di atas tentang hilãl, maka hakekat dari awal bulan baru atau awal bulan Qamariyah adalah wujûd al-hilãl yang dapat diketahui dengan rukyah dan hisab atau keduanya sekaligus. Oleh karenanya rukyah dan atau hisab itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan awal bulan Qamariyah.

Berbagai kriteria untuk menentukan masuknya bulan baru Qamariyah mulai berkembang, dan perkembangannya ini juga melahirkan perbedaan internal dalam metode hisab, seperti perbedaan tentang ijtima’ (konjungsi) di mana ada yang berpandangan dengan sistem ijtima’ qabla alghurūbdan ada yang memakai dengan sistem ijtima’ qabla al-fajr.

Begitu juga perbedaan tentang ketinggian hilãl yang dikaitkan dengan umur bulan, yakni tenggang waktu antara terbenam matahari dan saat terjadinya ijtima’. Bahkan konsep wujûd al-hilãl mengalami perkembangan yang semula pengertian wujûd al-hilãl adalah matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan dengan standart ukuran yang dijadikan pembatas adalah ufuk mar’i. Kemudian muncul pengertian bahwa wujûd al-hilãl itu apabila pada saat matahari terbenam, bulan berada pada posisi di atas ufuk hakiki.
METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM Reviewed by Putra on 12:06:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.