Filsafat Pada Zaman PascaModern
Tokoh-tokoh besar filsafat pascamodern cukup banyak, yaitu seluruh tokoh filsafat dekonstruksi seperti Arkoun, Derrida, Foucalut, Wittgenstein. Capra telah menulis buku yang telah disiapkanya dalam jangka panjang. Mula-mula ia menulis The Tao of Physics. Buku ini Capra mencoba memperlihatkan antara revolusi spritual dengan fisika (Capar,1998:xxiii). Enam tahun kemudian ia menerbitkan buku penting The Turning Point: Sciece, Society and The Rising Culture, dalam edisi bahasa indonesia yang brjudul Titik Balik Peradaban.
Pada awal dasa warsa terakhir abad ke-20, demikian kata Capra, kita menemukan diri kita dalam suatu krisi global yang serius, yaitu suatu krisis dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spritual, suatu suati krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Untuk pertama kalinya kita di hadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia di planet ini.
Selanjutnya Capra (1998:3-10) menjelaskan bahaya yang mengancam ras kehidupan manusia dan ketidak mampuan kaum intelektual mencari jalan mengatasinya. Capra melihat di dunia saat ini terdapat banyak sekali kontradiksi. Kontradiksi inilah yang disebutnya sebagai kekacauan. Ini adalah suatu tanda kehancuran kebudayaan. Capra sebenarnya hendak mengatakan bahwa budaya dunia (dalam hal ini terutama Barat) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, kacau. Penyebab petamanya ialah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan budaya Barat itu. Inilah kekeliruan yang dimaksud.
Dari analisis filsafat dan sejarah kebudayaan itu mengetahui bahwa budaya barat itu disusun dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm). Paradigma ini disusun berdasarkan warisan Descrates dan Newton. Warisan dua tokoh ini merupakan inti pembahasan buku Capra setebal itu. Ia menyatakan bahwa paradigma yang diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigma tunggal yang digunakan dalam mendesains dalam budaya Barat sekarang. Kesalahan itu terjadi karena paradigma itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (Wholeness), paradigma itu hanya melihat alam ini pada bagian empiriknya saja.
Capra melihat bahwa penyebab kekacauan itu karena tidak digunakanya paradigma utuh dalam merekayasa budaya. Dan Capra menuding bahwa Cartesian dan Newtonian-lah yang bertanggung jawab memunculkan paradigma tunggal itu. Selanjutnya penggunaan paradigma itulah sebagai penyebab kekacauan budaya.
Capra mengusulkan harus ada paradigma tunggal (yang mampu melihat alam sebagai sesuatu yang wholeness) untuk digunakan untuk mendesains kembali budaya dunia. Dia menghendaki agar filsafat China yaitu I Ching tersebut mampu melihat dunia sebagai suatu sistem.
Penulis melihat kemingkinan lain, yaitu harus ada 3 paradigma (masing-masing untuk budaya, sains, seni, dan etika) untuk merekayasa kembali budaya dunia , ketiga paradigma itu harus diturunkan daro Islam. Islam yang diambil bukanlag I Ching. karena, sekalipun seandainya filsafat I Ching itu melihat dunia itu sebagai keseluruhan, tetapi filsafat itu belum pernah membangun satu masyarakat atau negara yang sesuai dengan isi filsafat itu. Sedangkan Islam, selain ajaranya juga melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, telahmembuktikan dirinya mampu membentuk masyarakat negara yang menerapkan isi filsafatnya itu, yaitu negara Madinah pada zaman nabi, Abu Bakar, dan umar, kemudian muncul lagi pada zamaz Umar bin Abdul Aziz, dan sekali lagi pad zaman Makmun di Baghdad.
Isi filsafat pada zaman pascamodern isinya banyak. Tetapi ada yang paling penting: Filsafat pascamodern tidak puas dengan Rasionalisme, karena itu Rasionalisme harus didekonstruksi, dan harus direkonstruksi filsafat baru. Hasil rekonstruksi yang baru buku ini mengatakan belum ada yang sungguh-sungguh penting dan mendasar. Para filolosof dekonstruksi (yaitu par filosof posmo) baru hampir selesai membicarakan cara merekonstruksi filsafat baru. Mereka masih menyelesaikan metodologinya.
Pada awal dasa warsa terakhir abad ke-20, demikian kata Capra, kita menemukan diri kita dalam suatu krisi global yang serius, yaitu suatu krisis dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spritual, suatu suati krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Untuk pertama kalinya kita di hadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia di planet ini.
Selanjutnya Capra (1998:3-10) menjelaskan bahaya yang mengancam ras kehidupan manusia dan ketidak mampuan kaum intelektual mencari jalan mengatasinya. Capra melihat di dunia saat ini terdapat banyak sekali kontradiksi. Kontradiksi inilah yang disebutnya sebagai kekacauan. Ini adalah suatu tanda kehancuran kebudayaan. Capra sebenarnya hendak mengatakan bahwa budaya dunia (dalam hal ini terutama Barat) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, kacau. Penyebab petamanya ialah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan budaya Barat itu. Inilah kekeliruan yang dimaksud.
Dari analisis filsafat dan sejarah kebudayaan itu mengetahui bahwa budaya barat itu disusun dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm). Paradigma ini disusun berdasarkan warisan Descrates dan Newton. Warisan dua tokoh ini merupakan inti pembahasan buku Capra setebal itu. Ia menyatakan bahwa paradigma yang diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigma tunggal yang digunakan dalam mendesains dalam budaya Barat sekarang. Kesalahan itu terjadi karena paradigma itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (Wholeness), paradigma itu hanya melihat alam ini pada bagian empiriknya saja.
Capra melihat bahwa penyebab kekacauan itu karena tidak digunakanya paradigma utuh dalam merekayasa budaya. Dan Capra menuding bahwa Cartesian dan Newtonian-lah yang bertanggung jawab memunculkan paradigma tunggal itu. Selanjutnya penggunaan paradigma itulah sebagai penyebab kekacauan budaya.
Capra mengusulkan harus ada paradigma tunggal (yang mampu melihat alam sebagai sesuatu yang wholeness) untuk digunakan untuk mendesains kembali budaya dunia. Dia menghendaki agar filsafat China yaitu I Ching tersebut mampu melihat dunia sebagai suatu sistem.
Penulis melihat kemingkinan lain, yaitu harus ada 3 paradigma (masing-masing untuk budaya, sains, seni, dan etika) untuk merekayasa kembali budaya dunia , ketiga paradigma itu harus diturunkan daro Islam. Islam yang diambil bukanlag I Ching. karena, sekalipun seandainya filsafat I Ching itu melihat dunia itu sebagai keseluruhan, tetapi filsafat itu belum pernah membangun satu masyarakat atau negara yang sesuai dengan isi filsafat itu. Sedangkan Islam, selain ajaranya juga melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, telahmembuktikan dirinya mampu membentuk masyarakat negara yang menerapkan isi filsafatnya itu, yaitu negara Madinah pada zaman nabi, Abu Bakar, dan umar, kemudian muncul lagi pada zamaz Umar bin Abdul Aziz, dan sekali lagi pad zaman Makmun di Baghdad.
Isi filsafat pada zaman pascamodern isinya banyak. Tetapi ada yang paling penting: Filsafat pascamodern tidak puas dengan Rasionalisme, karena itu Rasionalisme harus didekonstruksi, dan harus direkonstruksi filsafat baru. Hasil rekonstruksi yang baru buku ini mengatakan belum ada yang sungguh-sungguh penting dan mendasar. Para filolosof dekonstruksi (yaitu par filosof posmo) baru hampir selesai membicarakan cara merekonstruksi filsafat baru. Mereka masih menyelesaikan metodologinya.
Filsafat Pada Zaman PascaModern
Reviewed by Putra
on
11:58:00 AM
Rating:
No comments: