Reformasi Hukum Islam Era Kemerdekaan
Reformasi Hukum Islam Era Kemerdekaan - Di zaman penjajahan, masa-masa awal kemerdekaan hingga pertengahan era Orde Baru hukum Islam dapat dikatakan masih bergelut dengan problem legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. Berbagai teori yang muncul mulai dari teori receptio in complexu, recepetie, receptie exit, receptio a contrario semuanya sebenarnya berisi argumen dan memperdebatkan tentang legitimasi hukum Islam.
Dalam konteks ini perjuangan hukum Islam diawali dengan upaya meruntuhkan teori receptie Snouck Hurgronje, pada saat yang sama me-reintroduksi (memperkenalkan kembali, membawa masuk kembali) hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka dan menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara --kendati hukum yang lama masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945 melalui pasal peralihannya-- seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi disebabkan jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit --keluar dan tidak diberlakukan— karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hazairin menuduh teori receptie itu sebagai “teori iblis”. Sebab dengan mengikuti teori ini orang Islam diajak untuk tidak mematuhi al-Qur’an dan Sunnah. Pandangan Hazairin inilah yang biasa disebut teori Receptie Exit.
Menyangkut hubungan hukum Islam dengan adat, Sajuti Thalib mengembangkan teori Receptie Exit Hazairin di atas dengan teori Receptio A Contrario. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan, bagi orang Islam berlaku hukum Islam, karena hal tersebut sesuai dengan keyakinan, cita-cita batin dan moralnya. Sedangkan hukum adat berlaku bagi orang Islam apabila tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum Islam. )
Begitu pula produk hukum yang dihasilkan, masih merefleksikan kelanjutan dari pertarungan argumen dan teori legitimasidi atas. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah contohnya. Dengan UU ini posisi peradilan agama menjadi sejajar dengan peradilan lainnya dalam tata hukum Indonesia. Undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyempurnakan argumen dan legitimasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia. Begitupun Undang-undang perkawinan nasional (UU no. 1 tahun 1974), dapat dibaca dalam konteks legitimasi hukum Islam.
Positivisasi dan Reformasi Hukum Islam
Memasuki akhir era orde baru dan era reformasi perjuangan hukum Islam tampaknya beralih kepada upaya-upaya positivisasi dan reformasi. Fokusnya bukan lagi mencarikan apa landasan legitimasi hukum Islam. Namun lebih dari itu adalah memberikan jawaban menganai kontribusi dan manfaat hukum Islam sebesar-besarnya kepada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Positivisasi adalah upaya memasukkan unsur-unsur hukum Islam ke dalam undang-undang negara. Di sini undang-undang yang dihasilkan tidak harus bernama “hukum Islam. Namun yang terpenting, isi undang-undang itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Termasuk dalam pengertian positivisasi adalah menjadikan hukum Islam yang masih berbentuk fatwa atau pendapat ulama dalam kitab fiqh, menjadi undang-undang hukum Islam. Ini biasa disebut dengan Taqnin atau Qanunisasi.
Sejalan dengan upaya positivisasi adalah reformasi pemikiran hukum Islam , yaitu upaya untuk memberikan jawaban-jawaban ajaran Islam di bidang hukum terhadap kemajuan kontemporer. Artinya, positivisasi dimaksud adalah positivisasi hukum-hukum Islam yang benar-benar sesuai dan mampu menjawab tantangan zamannya. Dalam rangka inilah reformasi menjadi mutlak diperlukan. Ini tentu saja mengharuskan adanya pengertian-pengertian baru dan kontekstualisasi dari pemikiran-pemikiran fiqh sejauh masih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Upaya ini tampak dari berbagai produk undng-undang maupun peraturan lainnya sejak pertengahan Orde Baru hingga saat sekarang. Lahirlah misalnya sejumlah undang-undang dan aturan yang berisi sekaligus berlabel hukum Islam yang tentu saja hanya berlaku untuk umat islam, seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Zakat, Undang-undang Haji, Undang-undang Wakaf dan sebagainya.
Dalam konteks ini perjuangan hukum Islam diawali dengan upaya meruntuhkan teori receptie Snouck Hurgronje, pada saat yang sama me-reintroduksi (memperkenalkan kembali, membawa masuk kembali) hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka dan menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara --kendati hukum yang lama masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945 melalui pasal peralihannya-- seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi disebabkan jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit --keluar dan tidak diberlakukan— karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hazairin menuduh teori receptie itu sebagai “teori iblis”. Sebab dengan mengikuti teori ini orang Islam diajak untuk tidak mematuhi al-Qur’an dan Sunnah. Pandangan Hazairin inilah yang biasa disebut teori Receptie Exit.
Menyangkut hubungan hukum Islam dengan adat, Sajuti Thalib mengembangkan teori Receptie Exit Hazairin di atas dengan teori Receptio A Contrario. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan, bagi orang Islam berlaku hukum Islam, karena hal tersebut sesuai dengan keyakinan, cita-cita batin dan moralnya. Sedangkan hukum adat berlaku bagi orang Islam apabila tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum Islam. )
Begitu pula produk hukum yang dihasilkan, masih merefleksikan kelanjutan dari pertarungan argumen dan teori legitimasidi atas. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah contohnya. Dengan UU ini posisi peradilan agama menjadi sejajar dengan peradilan lainnya dalam tata hukum Indonesia. Undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyempurnakan argumen dan legitimasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia. Begitupun Undang-undang perkawinan nasional (UU no. 1 tahun 1974), dapat dibaca dalam konteks legitimasi hukum Islam.
Positivisasi dan Reformasi Hukum Islam
Memasuki akhir era orde baru dan era reformasi perjuangan hukum Islam tampaknya beralih kepada upaya-upaya positivisasi dan reformasi. Fokusnya bukan lagi mencarikan apa landasan legitimasi hukum Islam. Namun lebih dari itu adalah memberikan jawaban menganai kontribusi dan manfaat hukum Islam sebesar-besarnya kepada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Positivisasi adalah upaya memasukkan unsur-unsur hukum Islam ke dalam undang-undang negara. Di sini undang-undang yang dihasilkan tidak harus bernama “hukum Islam. Namun yang terpenting, isi undang-undang itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Termasuk dalam pengertian positivisasi adalah menjadikan hukum Islam yang masih berbentuk fatwa atau pendapat ulama dalam kitab fiqh, menjadi undang-undang hukum Islam. Ini biasa disebut dengan Taqnin atau Qanunisasi.
Sejalan dengan upaya positivisasi adalah reformasi pemikiran hukum Islam , yaitu upaya untuk memberikan jawaban-jawaban ajaran Islam di bidang hukum terhadap kemajuan kontemporer. Artinya, positivisasi dimaksud adalah positivisasi hukum-hukum Islam yang benar-benar sesuai dan mampu menjawab tantangan zamannya. Dalam rangka inilah reformasi menjadi mutlak diperlukan. Ini tentu saja mengharuskan adanya pengertian-pengertian baru dan kontekstualisasi dari pemikiran-pemikiran fiqh sejauh masih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Upaya ini tampak dari berbagai produk undng-undang maupun peraturan lainnya sejak pertengahan Orde Baru hingga saat sekarang. Lahirlah misalnya sejumlah undang-undang dan aturan yang berisi sekaligus berlabel hukum Islam yang tentu saja hanya berlaku untuk umat islam, seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Zakat, Undang-undang Haji, Undang-undang Wakaf dan sebagainya.
Reformasi Hukum Islam Era Kemerdekaan
Reviewed by Putra
on
11:49:00 AM
Rating:
No comments: