Cerita Cinta: Romantika Cinta Buta
Orang bilang cinta itu buta. Bagiku, cinta tidak buta, tapi kadang kita dibutakan oleh cinta. Perasaan cinta yang membabi-buta itulah awal dari penderitaan saya. Padahal saya datang dari keluarga terhormat. Orang tuaku memegang teguh aturan Islam. Saya sendiri sadar, mengorbankan keinginan orang tua adalah pengorbanan sia-sia. Namun saya telah dibutakan oleh cinta.
Perkenalan aku dengan si dia sejak SMU kelas II. Cinta itu makin melekat hingga kami kuliah, kebetulan kami sepakat mengambil almamater sama di Bandung. Dia baik, sekalipun berbeda agama, tapi dia menghargai perbedaan itu. Orang tua tidak merestui saya hubungan dengannya. Saya yakinkan bahwa suatu saat dia akan masuk Islam, namun ayah tetap tidak setuju. Alasannya bukan semata beda agama, tapi juga dia berlainan etnis. Dia keturunan Tionghoa (Cina), sementara aku Sunda tulen.
Pacarku memahami penolakan ayah. Tapi kami tetap berjalan, perasaan cinta kami sulit dipisahkan. Saya tahu, wanita Islam haram nikah dengan laki-laki non Islam. Namun aku nekad, kadang berontak terhadap orang tua yang saya nilai terlalu mencampuri urusan kami. Secara tidak sadar, saya banyak membantah orang tua. Saya sendiri menjadi lebih permisif dalam bergaul. Kadang saya ngantar dia ke gereja. Kadang saya heran, dia sering bilang ingin pindah agama tapi makin dekat saja dengan agamanya.
Dia orang berada, setiap Minggu saya selalu diajak jalan-jalan, nginap di hotel. Bahkan kini saya cuek kemana pun tidak pernah bilang orang tua. Keluarga saya nampaknya telah menganggap itu hal biasa bagi saya. Saya sudah dianggap anak yang bandel. Seolah orang tuaku telah membuangku. Tapi aku masih tetap berhubungan baik.
Awal tragedi yang sesungguhnya tidak saya sadari ketika pertama kalinya kami berhubungan layaknya pasangan suami istri. Dia berjanji pasti menikahi saya. Hubungan kami nampaknya sudah sangat jauh. Cinta kami sulit dipisahkan oleh apa pun. Memang sekalipun aku dari keluarga taat, tapi aku Islam KTP. Jangankan menjalankan ibadah, aku justru sering melakukan maksiat bersama pacarku; pakaian super ketat, mini, aku mabuk di diskotek, pub atau bar. Kehidupan menurutku lumrah di zaman modern ini. Lagipula aku tidak pernah mengeluarkan uang bahkan biaya kuliahku ditanggung pacarku.
Menginjak semester lima, kami menikah, dia mengucapkan dua kalimah syahadat di depan ayahku. Pernikahan saya hanya disaksikan sebagian kecil keluarga dari kedua belah pihak. Tidak ada iringan pengantin apalagi pesta, namun yang penting resmi dan orang tua menyaksikan. Tapi entah kenapa, ayah menyarankan agar kami segera pindah rumah. Ayah masih setengah hati menerima kami. Bagi ayah, bermenantukan orang Cina adalah aib bagi keluarganya.
Aku menempati rumah baru. Aku ingin menjadi isteri yang baik sekaligus mendidik suami tentang Islam. Namun setiap aku memberi wejangan tentang ajaran agama yang baik, dia tersenyum sinis. Dia mengatakan tidak percaya semua itu, buktinya sering dilanggar. Saya sadar, saya sendiri tak pernah kelihatan shalatbahkan dulu sering melakukan dosa besar seperti mabuk. Saya malu sendiri.
Saat aku mengandung keturunannya, saya dapatkan suami mabuk berat. Namun aku tetap sabar melayaninya. Kadang aku rindu orang tua yang setahun ini tidak pernah menelphon apalagi menengok saya. Saya yakin orang tua marah. Saya juga mulai kesal, rumah tangga bahagia yang didambakan hanya tinggal impian belaka. Suamiku makin menjadi-jadi. Puncaknya, dia pernah kepergok menggandeng wanita lain yang satu etnis. Ketika aku tanya baik-baik, dia marah. Katanya, saya tidak boleh mencampuri urusannya. Terus terang saya tersinggung. Tapi tak kuasa melawan. Namun ibarat semut, jika diinjak, pasti akan melawan. Aku merasa tidak dihargaisebagai Istri. Emosiku meledak saat dia dikabarkan nikah lagi di sebuah gereja. Ternyata benar, seminggu ini dia tidak pulang.
Saat aku tanya dia malah membantingku, aku terjatuh dan kandunganku mengalami pendarahan, untung saja tidak keguguran. Belas kasihan, raca cinta, sayang dan janji sehidup-semati yang dia janjikansaat pacaran dulu, kini tinggal kenangan. Saat aku menderita di rumah sakit, dia malah cuek saja. Setelah mengantarku, dia sendiri pergi entah kemana dan tak pernah menjengukku.
Ada perasaan berdosa telah menentang orang tua. Ternyata, dia hanya pura-pura masuk Islam. Aku sendiri dulu merasakan ada ketidakberesan dalam pergaulan, namun saat itu aku masih dibutakan cinta. Kini hatiku terbuka, aku sadar. Walau terlambat, namun setidaknya ada waktu untuk memperbaiki diri. Dalam jeruji besi, aku memunculkan kembali akal sehatku setelah terbelenggu cinta buta. Aku menyesal ada di sini, namun membunuh laki-laki durjana itu adalah kepuasan bagi saya. Wanita mana yang tahan melihat suami bermesraan dengan wanita lain di depan mata kepala saya sendiri. Yang paling menyakitkan, perilaku menjijikkan itu dilakukan di kamar saya sendiri. Bahkan bukannya menyesal, malah mengusirku. Kesabaranku musnah, saat menusuknya beberapa kali dengan pisau dapur, saya merasa bumi telah kiamat.
Tugasku kini melahirkan si jabang bayi yang sebentar lagi akan keluar. Walaupun dia harus lahir di penjara, namun mudah-mudahan dia tidak mengikuti jejak ayah dan ibunya.
Perkenalan aku dengan si dia sejak SMU kelas II. Cinta itu makin melekat hingga kami kuliah, kebetulan kami sepakat mengambil almamater sama di Bandung. Dia baik, sekalipun berbeda agama, tapi dia menghargai perbedaan itu. Orang tua tidak merestui saya hubungan dengannya. Saya yakinkan bahwa suatu saat dia akan masuk Islam, namun ayah tetap tidak setuju. Alasannya bukan semata beda agama, tapi juga dia berlainan etnis. Dia keturunan Tionghoa (Cina), sementara aku Sunda tulen.
Pacarku memahami penolakan ayah. Tapi kami tetap berjalan, perasaan cinta kami sulit dipisahkan. Saya tahu, wanita Islam haram nikah dengan laki-laki non Islam. Namun aku nekad, kadang berontak terhadap orang tua yang saya nilai terlalu mencampuri urusan kami. Secara tidak sadar, saya banyak membantah orang tua. Saya sendiri menjadi lebih permisif dalam bergaul. Kadang saya ngantar dia ke gereja. Kadang saya heran, dia sering bilang ingin pindah agama tapi makin dekat saja dengan agamanya.
Dia orang berada, setiap Minggu saya selalu diajak jalan-jalan, nginap di hotel. Bahkan kini saya cuek kemana pun tidak pernah bilang orang tua. Keluarga saya nampaknya telah menganggap itu hal biasa bagi saya. Saya sudah dianggap anak yang bandel. Seolah orang tuaku telah membuangku. Tapi aku masih tetap berhubungan baik.
Awal tragedi yang sesungguhnya tidak saya sadari ketika pertama kalinya kami berhubungan layaknya pasangan suami istri. Dia berjanji pasti menikahi saya. Hubungan kami nampaknya sudah sangat jauh. Cinta kami sulit dipisahkan oleh apa pun. Memang sekalipun aku dari keluarga taat, tapi aku Islam KTP. Jangankan menjalankan ibadah, aku justru sering melakukan maksiat bersama pacarku; pakaian super ketat, mini, aku mabuk di diskotek, pub atau bar. Kehidupan menurutku lumrah di zaman modern ini. Lagipula aku tidak pernah mengeluarkan uang bahkan biaya kuliahku ditanggung pacarku.
Menginjak semester lima, kami menikah, dia mengucapkan dua kalimah syahadat di depan ayahku. Pernikahan saya hanya disaksikan sebagian kecil keluarga dari kedua belah pihak. Tidak ada iringan pengantin apalagi pesta, namun yang penting resmi dan orang tua menyaksikan. Tapi entah kenapa, ayah menyarankan agar kami segera pindah rumah. Ayah masih setengah hati menerima kami. Bagi ayah, bermenantukan orang Cina adalah aib bagi keluarganya.
Aku menempati rumah baru. Aku ingin menjadi isteri yang baik sekaligus mendidik suami tentang Islam. Namun setiap aku memberi wejangan tentang ajaran agama yang baik, dia tersenyum sinis. Dia mengatakan tidak percaya semua itu, buktinya sering dilanggar. Saya sadar, saya sendiri tak pernah kelihatan shalatbahkan dulu sering melakukan dosa besar seperti mabuk. Saya malu sendiri.
Saat aku mengandung keturunannya, saya dapatkan suami mabuk berat. Namun aku tetap sabar melayaninya. Kadang aku rindu orang tua yang setahun ini tidak pernah menelphon apalagi menengok saya. Saya yakin orang tua marah. Saya juga mulai kesal, rumah tangga bahagia yang didambakan hanya tinggal impian belaka. Suamiku makin menjadi-jadi. Puncaknya, dia pernah kepergok menggandeng wanita lain yang satu etnis. Ketika aku tanya baik-baik, dia marah. Katanya, saya tidak boleh mencampuri urusannya. Terus terang saya tersinggung. Tapi tak kuasa melawan. Namun ibarat semut, jika diinjak, pasti akan melawan. Aku merasa tidak dihargaisebagai Istri. Emosiku meledak saat dia dikabarkan nikah lagi di sebuah gereja. Ternyata benar, seminggu ini dia tidak pulang.
Saat aku tanya dia malah membantingku, aku terjatuh dan kandunganku mengalami pendarahan, untung saja tidak keguguran. Belas kasihan, raca cinta, sayang dan janji sehidup-semati yang dia janjikansaat pacaran dulu, kini tinggal kenangan. Saat aku menderita di rumah sakit, dia malah cuek saja. Setelah mengantarku, dia sendiri pergi entah kemana dan tak pernah menjengukku.
Ada perasaan berdosa telah menentang orang tua. Ternyata, dia hanya pura-pura masuk Islam. Aku sendiri dulu merasakan ada ketidakberesan dalam pergaulan, namun saat itu aku masih dibutakan cinta. Kini hatiku terbuka, aku sadar. Walau terlambat, namun setidaknya ada waktu untuk memperbaiki diri. Dalam jeruji besi, aku memunculkan kembali akal sehatku setelah terbelenggu cinta buta. Aku menyesal ada di sini, namun membunuh laki-laki durjana itu adalah kepuasan bagi saya. Wanita mana yang tahan melihat suami bermesraan dengan wanita lain di depan mata kepala saya sendiri. Yang paling menyakitkan, perilaku menjijikkan itu dilakukan di kamar saya sendiri. Bahkan bukannya menyesal, malah mengusirku. Kesabaranku musnah, saat menusuknya beberapa kali dengan pisau dapur, saya merasa bumi telah kiamat.
Tugasku kini melahirkan si jabang bayi yang sebentar lagi akan keluar. Walaupun dia harus lahir di penjara, namun mudah-mudahan dia tidak mengikuti jejak ayah dan ibunya.
Cerita Cinta: Romantika Cinta Buta
Reviewed by Putra
on
1:16:00 AM
Rating:
No comments: