Manfaat Kesehatan Melakukan Shalat Tahajud
Manfaat Kesehatan Melakukan Shalat Tahajud - Seperti di ungkap Dr. Sholeh dalam bukunya Terapi Shalat Tahajud berhasil mengetengahkan sebab ilmiah dari ibadah luar biasa ini. Terilhami dari sabda Nabi saw, “Shalat Tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan diri dari penyakit.” (HR. at Tirmidzi), dengannya Dr. Sholeh menggunakannya sebagai bahan disertasinya, dengan memilih topik khusus tentang hormon kortisol yang ada dalam tubuh manusia dan kaitannya dengan shalat tahajud.
Lalu apa itu hormon Kortisol?
Ketika membahas hormon ini, pernah terjadi diskusi sangat pelik. Pasalnya, beberapa ahli yang tergabung dalam komersialisasi produk pelangsing, mencapnya sebagai “hormon jahat” hanya karena karena salah satu dari beberapa efeknya yang bisa mengakibatkan kegemukan. Seorang muslim, sepatutnya tidak berpikir demikian. Untuk kepentingan apapun juga. Tidak mungkin Sang Khaliq menciptakan sesuatu dengan kesia-siaan, terlebih lagi banyak literatur yang menunjukkan hormon kortisol ini memberikan banyak manfaat.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:191)
Hormon ini dikenal sebagai hormon stres.. Kadang dengan nama ini lebih menguatkan alasan untuk menyalahtafsirkan kortisol sebagai “hormon jahat”. padahal fungsi utamanya justru untuk menangkal dan mempersiapkan tubuh terhadap stres. Sebuah penelitian pada hewan percobaan, tiadanya hormon kortisol ini mengakibatkan hewan tersebut tidak layak hidup, sangat rentan, dan lemah terhadap berbagai tekanan dari luar. Boleh jadi hewan tersebut masih bisa bernafas dan mengatur bagian dalam tubuhnya, tapi terhadap kendali luar atau lingkungan, sangatlah labil.
Kortisol dihasilkan oleh kelenjar di ginjal dengan kendali dari otak jika kita stres atau sesuatu hal yang membuat tubuh memerlukan pelepasan hormon ini terjadi. Fungsinya bermacam-macam, tapi yang utama adalah berkaitan dengan pengaturan pembakaran zat-zat gizi serta penggunaannya, yang lazim disebut metabolisme. Masih ingatkan apa itu metabolisme? SMP seperti kita sudah pada dapat ya
Berbicara tentang metabolisme, tidak lepas dari tiga komponen utama, yakni zat gula atau karbohidrat yang terdapat banyak pada nasi serta makanan pokok lainnya, kemudian lemak atau lipid pada daging, serta protein. Dari ketiga zat ini, kortisol lebih berperan dalam metabolisme karbohidrat, yakni mempercepat pelepasan glukosa (komponen karbohidrat) ke darah untuk menjamin tersedianya energi untuk menghadapi beban dari luar. Sementara terhadap kedua zat gizi lainnya, kortisol membantu proses perubahan zat tersebut menjadi glukosa yang dalam istilah kedokteran dikenal sebagai glukoneogenesis. Diantaranya terhadap lemak, maka banyak cadangan lemak yang dilepaskan dari jaringannya untuk kemudian dilepas menjadi glukosa. Demikian pula terhadap protein, akan banyak protein dari berbagai jaringan semisal otot dan lain sebagainya –kecuali protein pada hati- dilepaskan untuk kemudian di ubah lagi menjadi glukosa.
Fungsi terakhir inilah yang memengaruhi bahasan pokok yang diketengahkan Dr. Sholeh. Protein merupakan pembentuk sel-sel pertahanan tubuh, ketika fokusnya diarahkan untuk mengubah protein menjadi zat gula, maka akan ada penekanan terhadap perubahan protein ke zat fungsional lainnya. Secara ringkas, Granner dalam Biokimia Harper menyatakan bahwa kortisol menekan sistem imun (pertahanan) tubuh, mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit.
Jadi, memang berbahayakah kortisol?
seperti telah disebutkan di atas, kita hendaknya jangan berpikir negatif terlebih dulu. Allah selaku penciptanya tentu telah memberikan semuanya agar berjalan ideal. Jika ada kerusakan atau ketidaksempurnaan, maka tangan manusialah sebenarnya yang menyebabkannya.
Baiklah kita lanjutkan lagi pembicaraan kortisol ini. Kortisol dikeluarkan dari kelenjarnya dengan stimulasi otak secara periodik, sehingga membentuk suatu ritmis dengan puncak dan lembah tiap harinya. Irama ini dikenal dengan “Irama Sirkadian”. Kadar tertinggi kortisol dicapai setelah tengah malam (dini hari) hingga siang hari. Inilah hikmah persiapan fisik tiap individu yang secara naluriah memang akan mengalami banyak tekanan, baik tekanan alami maupun tekanan dari sesama insan, sehingga Sang Pencipta yang Maha Penyayang telah menyiapkan kita menghadapi beban itu.
Hubungan Kortisol dan Tahajud
Lalu apa hubungan hormon kortisol ini dengan ibadah yang paling utama setelah shalat fardhu: Tahajud?
Terkait dengan irama sirkadian, dapat dipahami bahwa kortisol dibutuhkan untuk melawan stres harian, hanya saja yang dihindari adalah pengaruh negatifnya yang mampu menekan sistem imun yang bisa berakibat seseorang menjadi rentan sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita menurunkan kadarnya secara umum, sehingga kita sehat dengan sistem imun tinggi namun saat yang sama tetap kuat menghadapi tekanan sehari-hari?
Inilah kuncinya: Tahajud!
Dengan melibatkan 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya, Dr. Moh. Sholeh berhasil mempertahankan disertasinya dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Judul disertasinya “Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Peubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi.” Dari 41 siswa tersebut, hanya 23 yang sanggup menjalankan shalat Tahajud selama satu bulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan shalat Tahajud selama dua bulan (ingat hanya 19 yang tersisa dari 41, ini berarti ketahanan mental memang berperan dalam hal ini).
Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (QS.73:2)
Shalat Tahajud dimulai pada pukul 02.00-03.30 WIB sebanyak 11 raka’at; dua raka’at sebanyak 4 kali, ditutup shalat Witir sebanyak tiga raka’at. Selanjutnya, hormon kortisol 19 siswa tersebut diperiksa di tiga laboratorium di Surabaya.
Hasilnya: didapatkan kadar hormon kortisol yang stabil dan relatif lebih rendah pada pengamal shalat Tahajud. Ketika diuji kadar sistem imunnya, diperoleh hasil yang bermakna pada uji statistik dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa shalat Tahajud berpengaruh terhadap peningkatan respon ketahanan tubuh imunologik.
Lalu, apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi? Dr. Sholeh menjelaskan bahwa shalat Tahajud yang dijalankan dengan tepat, kontinu, khusyuk, dan ikhlas mampu menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan memperbaiki suatu mekanisme tubuh dalam mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Mekanisme ini terbentuk melalui belajar dan mengingat. Tahajud dalam hal ini menjadi salah satu jalannya. Mekanisme ini dikenal sebagai coping.
Respons emosi positif dan coping yang efektif dapat mengurangi reaksi stres. Memang diakui bahwa coping tidak menyelesaikan masalah, tapi menolong subjek mengubah persepsi atau meningkatkan kondisi yang dianggap mengancam. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa respon emosional positif atau coping yang efektif, sebagai dampak langsung dari shalat Tahajud, mampu menghambat pengeluaran kortisol yang berlebihan.
Untuk melengkapi dan membandingkan temuan Dr. Sholeh, mari kita simak penuturan Dr. Abdullah Azzam –wah, ini figur kebanggaan penulis, semoga penulis bisa sama seperti beliau layaknya namanyaJ, aaamiin- berikut ini.
Ikhwah yang menetap bersama beliau, tentu saja mengerjakannya secara kontinu setiap malam. Karena itulah suatu hari setelah Syekh keluar dari ujian yang menimpa beliau, aku katakan kepada diriku sendiri, ‘Sesungguhnya, faktor terpenting dari kesuksesan beliau adalah Qiyamul Lail dan Shiyam (puasa) yang beliau kerjakan. Meskipun para dokter selalu memperingatkan beliau tentang shiyam yang beliau kerjakan, meskipun beberapa kali beliau mengalami dehidrasi sebagai akibat dari penyakit gula yang beliau derita.’ Aku katakan kepada diriku lagi, ‘Kiranya rahasia kekuatan Syekh dalam menghadapi kebatilan dan rahasia ketegarannya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan siksaan di saat umur beliau sudah lebih dari 50 tahun, mata telah buta, dan beberapa panyakit ganas menggerogoti tubuh beliau, kiranya rahasia ini semua adalah Qiyamul Lail.’
Beliau tiada henti memompa kekuatan demi kekuatan bagi hati sehingga tertanamlah semangat yang tinggi dan tekad yang membaja. Anda akan melihat, di dalam tubuh yang lemah dan badan yang kurus kering, terdapat ‘azzam yang dapat meruntuhkan gunung-gemunung dan memporak-porandakan benteng pertahanan. Semua karena tadzallul (merendahkan diri) beliau kepada Allah yang terus menerus. Semua karena kekhusyukan beliau, ketundukan beliau kepada Allah, dan ketakutan beliau hanya kepada Allah saja.”
Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS.11:114)
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS.17:79)
Ketika membahas hormon ini, pernah terjadi diskusi sangat pelik. Pasalnya, beberapa ahli yang tergabung dalam komersialisasi produk pelangsing, mencapnya sebagai “hormon jahat” hanya karena karena salah satu dari beberapa efeknya yang bisa mengakibatkan kegemukan. Seorang muslim, sepatutnya tidak berpikir demikian. Untuk kepentingan apapun juga. Tidak mungkin Sang Khaliq menciptakan sesuatu dengan kesia-siaan, terlebih lagi banyak literatur yang menunjukkan hormon kortisol ini memberikan banyak manfaat.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:191)
Hormon ini dikenal sebagai hormon stres.. Kadang dengan nama ini lebih menguatkan alasan untuk menyalahtafsirkan kortisol sebagai “hormon jahat”. padahal fungsi utamanya justru untuk menangkal dan mempersiapkan tubuh terhadap stres. Sebuah penelitian pada hewan percobaan, tiadanya hormon kortisol ini mengakibatkan hewan tersebut tidak layak hidup, sangat rentan, dan lemah terhadap berbagai tekanan dari luar. Boleh jadi hewan tersebut masih bisa bernafas dan mengatur bagian dalam tubuhnya, tapi terhadap kendali luar atau lingkungan, sangatlah labil.
Kortisol dihasilkan oleh kelenjar di ginjal dengan kendali dari otak jika kita stres atau sesuatu hal yang membuat tubuh memerlukan pelepasan hormon ini terjadi. Fungsinya bermacam-macam, tapi yang utama adalah berkaitan dengan pengaturan pembakaran zat-zat gizi serta penggunaannya, yang lazim disebut metabolisme. Masih ingatkan apa itu metabolisme? SMP seperti kita sudah pada dapat ya
Berbicara tentang metabolisme, tidak lepas dari tiga komponen utama, yakni zat gula atau karbohidrat yang terdapat banyak pada nasi serta makanan pokok lainnya, kemudian lemak atau lipid pada daging, serta protein. Dari ketiga zat ini, kortisol lebih berperan dalam metabolisme karbohidrat, yakni mempercepat pelepasan glukosa (komponen karbohidrat) ke darah untuk menjamin tersedianya energi untuk menghadapi beban dari luar. Sementara terhadap kedua zat gizi lainnya, kortisol membantu proses perubahan zat tersebut menjadi glukosa yang dalam istilah kedokteran dikenal sebagai glukoneogenesis. Diantaranya terhadap lemak, maka banyak cadangan lemak yang dilepaskan dari jaringannya untuk kemudian dilepas menjadi glukosa. Demikian pula terhadap protein, akan banyak protein dari berbagai jaringan semisal otot dan lain sebagainya –kecuali protein pada hati- dilepaskan untuk kemudian di ubah lagi menjadi glukosa.
Fungsi terakhir inilah yang memengaruhi bahasan pokok yang diketengahkan Dr. Sholeh. Protein merupakan pembentuk sel-sel pertahanan tubuh, ketika fokusnya diarahkan untuk mengubah protein menjadi zat gula, maka akan ada penekanan terhadap perubahan protein ke zat fungsional lainnya. Secara ringkas, Granner dalam Biokimia Harper menyatakan bahwa kortisol menekan sistem imun (pertahanan) tubuh, mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit.
Jadi, memang berbahayakah kortisol?
seperti telah disebutkan di atas, kita hendaknya jangan berpikir negatif terlebih dulu. Allah selaku penciptanya tentu telah memberikan semuanya agar berjalan ideal. Jika ada kerusakan atau ketidaksempurnaan, maka tangan manusialah sebenarnya yang menyebabkannya.
Baiklah kita lanjutkan lagi pembicaraan kortisol ini. Kortisol dikeluarkan dari kelenjarnya dengan stimulasi otak secara periodik, sehingga membentuk suatu ritmis dengan puncak dan lembah tiap harinya. Irama ini dikenal dengan “Irama Sirkadian”. Kadar tertinggi kortisol dicapai setelah tengah malam (dini hari) hingga siang hari. Inilah hikmah persiapan fisik tiap individu yang secara naluriah memang akan mengalami banyak tekanan, baik tekanan alami maupun tekanan dari sesama insan, sehingga Sang Pencipta yang Maha Penyayang telah menyiapkan kita menghadapi beban itu.
Hubungan Kortisol dan Tahajud
Lalu apa hubungan hormon kortisol ini dengan ibadah yang paling utama setelah shalat fardhu: Tahajud?
Terkait dengan irama sirkadian, dapat dipahami bahwa kortisol dibutuhkan untuk melawan stres harian, hanya saja yang dihindari adalah pengaruh negatifnya yang mampu menekan sistem imun yang bisa berakibat seseorang menjadi rentan sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita menurunkan kadarnya secara umum, sehingga kita sehat dengan sistem imun tinggi namun saat yang sama tetap kuat menghadapi tekanan sehari-hari?
Inilah kuncinya: Tahajud!
Dengan melibatkan 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya, Dr. Moh. Sholeh berhasil mempertahankan disertasinya dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Judul disertasinya “Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Peubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi.” Dari 41 siswa tersebut, hanya 23 yang sanggup menjalankan shalat Tahajud selama satu bulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan shalat Tahajud selama dua bulan (ingat hanya 19 yang tersisa dari 41, ini berarti ketahanan mental memang berperan dalam hal ini).
Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (QS.73:2)
Shalat Tahajud dimulai pada pukul 02.00-03.30 WIB sebanyak 11 raka’at; dua raka’at sebanyak 4 kali, ditutup shalat Witir sebanyak tiga raka’at. Selanjutnya, hormon kortisol 19 siswa tersebut diperiksa di tiga laboratorium di Surabaya.
Hasilnya: didapatkan kadar hormon kortisol yang stabil dan relatif lebih rendah pada pengamal shalat Tahajud. Ketika diuji kadar sistem imunnya, diperoleh hasil yang bermakna pada uji statistik dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa shalat Tahajud berpengaruh terhadap peningkatan respon ketahanan tubuh imunologik.
Lalu, apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi? Dr. Sholeh menjelaskan bahwa shalat Tahajud yang dijalankan dengan tepat, kontinu, khusyuk, dan ikhlas mampu menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan memperbaiki suatu mekanisme tubuh dalam mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Mekanisme ini terbentuk melalui belajar dan mengingat. Tahajud dalam hal ini menjadi salah satu jalannya. Mekanisme ini dikenal sebagai coping.
Respons emosi positif dan coping yang efektif dapat mengurangi reaksi stres. Memang diakui bahwa coping tidak menyelesaikan masalah, tapi menolong subjek mengubah persepsi atau meningkatkan kondisi yang dianggap mengancam. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa respon emosional positif atau coping yang efektif, sebagai dampak langsung dari shalat Tahajud, mampu menghambat pengeluaran kortisol yang berlebihan.
Untuk melengkapi dan membandingkan temuan Dr. Sholeh, mari kita simak penuturan Dr. Abdullah Azzam –wah, ini figur kebanggaan penulis, semoga penulis bisa sama seperti beliau layaknya namanyaJ, aaamiin- berikut ini.
“Aku dan beberapa ikhwah pernah berjumpa dengan salah seorang ulama amilin mujahidin yang tidak pernah ketinggalan Qiyamul Lail (shalat Tahajud) walau semalam. Di dalamnya beliau baca satu juz penuh, dan beliau melipatgandakannya pada bulan Ramadhan. Semua ini dengan catatan bahwa beliau sudah lanjut, beliau mengidap penyakit gula, hipertensi, dan beberapa penyakit lainnya. Dibelakang beliau, kami –waktu itu kami masih muda- merasa kecapekan; bahkan terkadang ada di antara kami yang sengaja menghindar. Padahal, sebenarnya kami bertugas untuk menemani beliau di rumah sakit untuk beberapa hari saja, bukan untuk selamanya.
Ikhwah yang menetap bersama beliau, tentu saja mengerjakannya secara kontinu setiap malam. Karena itulah suatu hari setelah Syekh keluar dari ujian yang menimpa beliau, aku katakan kepada diriku sendiri, ‘Sesungguhnya, faktor terpenting dari kesuksesan beliau adalah Qiyamul Lail dan Shiyam (puasa) yang beliau kerjakan. Meskipun para dokter selalu memperingatkan beliau tentang shiyam yang beliau kerjakan, meskipun beberapa kali beliau mengalami dehidrasi sebagai akibat dari penyakit gula yang beliau derita.’ Aku katakan kepada diriku lagi, ‘Kiranya rahasia kekuatan Syekh dalam menghadapi kebatilan dan rahasia ketegarannya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan siksaan di saat umur beliau sudah lebih dari 50 tahun, mata telah buta, dan beberapa panyakit ganas menggerogoti tubuh beliau, kiranya rahasia ini semua adalah Qiyamul Lail.’
Beliau tiada henti memompa kekuatan demi kekuatan bagi hati sehingga tertanamlah semangat yang tinggi dan tekad yang membaja. Anda akan melihat, di dalam tubuh yang lemah dan badan yang kurus kering, terdapat ‘azzam yang dapat meruntuhkan gunung-gemunung dan memporak-porandakan benteng pertahanan. Semua karena tadzallul (merendahkan diri) beliau kepada Allah yang terus menerus. Semua karena kekhusyukan beliau, ketundukan beliau kepada Allah, dan ketakutan beliau hanya kepada Allah saja.”
Manfaat Kesehatan Melakukan Shalat Tahajud
Reviewed by Putra
on
6:04:00 PM
Rating:
No comments: