Filsafat Pada Abad Pertengahan
Filsafat Pada Abad Pertengahan - Akal pada abad pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan dengan jelas pada filsafat Plotinus, Augustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dank arena itu filsafatnya banyak mendapat kritik. Sebagai mana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal yang hamper seratus persen pada jaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman sofis.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan filsafat dan tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubazir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius, salah seorang pengikut Plotinus, telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar, ahli dalam filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang ajaran filsafat apa pun di Athena.
Augustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada jaman Yunani diganti dengan kuasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relative. Kebenaran itu mutlak, yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam; kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukim alam adalah mubazir, memboroskan waktu. Ia berkulat pada pendapat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Heliosentrisme ditolaknya. Intelektualisme tidak penting, yang penting adalah cinta kepada Tuhan.
Sains, filsafat, dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi, pembatasan daerah kerja (kapling) nya masing-masing harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi, filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah abstrak supralogis. Yang seperti ini sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi: indra, akal, dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan. Kekurangjelasan perbatasan daerah inilah yang sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan filsafat dan tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubazir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius, salah seorang pengikut Plotinus, telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar, ahli dalam filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang ajaran filsafat apa pun di Athena.
Augustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada jaman Yunani diganti dengan kuasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relative. Kebenaran itu mutlak, yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam; kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukim alam adalah mubazir, memboroskan waktu. Ia berkulat pada pendapat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Heliosentrisme ditolaknya. Intelektualisme tidak penting, yang penting adalah cinta kepada Tuhan.
Sains, filsafat, dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi, pembatasan daerah kerja (kapling) nya masing-masing harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi, filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah abstrak supralogis. Yang seperti ini sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi: indra, akal, dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan. Kekurangjelasan perbatasan daerah inilah yang sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Filsafat Pada Abad Pertengahan
Reviewed by Putra
on
11:33:00 AM
Rating:
No comments: