Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits - Cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in) ialah melalui dua cara :
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi);
yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ;
yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya (contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.
Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat, terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut:
a) Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan periwayatan.
b) Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan hadits, namun sesungguhnya hal ini tidak tertuju pada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian masyarakat muslim (hususnya yang sedang dalam proses pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada masa sahabat penyiaran sunnah Nabi berjalan seiring dengan kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang diperlukan, dengan pengawalan yang cukup ketat. Hadits-hadits yang tidak ada kaitannya dengan pembinaan Syariat, atau tidak memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.
c) Para sahabat yunior , telah mulai banyak yang mengadakan perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior sebagian berada di sana.
Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a) Bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b) Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an.
c) Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan) akan dinilai kurang sempurna.
d) Melakukan dokumentasi al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits.
Sumber:
Masjfuk Zuhdi. 1993. Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi);
yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ;
yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya (contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.
Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat, terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut:
a) Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan periwayatan.
b) Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan hadits, namun sesungguhnya hal ini tidak tertuju pada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian masyarakat muslim (hususnya yang sedang dalam proses pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada masa sahabat penyiaran sunnah Nabi berjalan seiring dengan kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang diperlukan, dengan pengawalan yang cukup ketat. Hadits-hadits yang tidak ada kaitannya dengan pembinaan Syariat, atau tidak memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.
c) Para sahabat yunior , telah mulai banyak yang mengadakan perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior sebagian berada di sana.
Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a) Bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b) Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an.
c) Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan) akan dinilai kurang sempurna.
d) Melakukan dokumentasi al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits.
Sumber:
Masjfuk Zuhdi. 1993. Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu
Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Reviewed by Putra
on
12:50:00 AM
Rating:
No comments: